Metro TV dan Kompas TV Tak Berimbang, Pendiri AJI: Penghormatan Terhadap Masyarakat Diabaikan, KPI dan Dewan Pers Pasif!

Mediabogor.com, Bogor – Maraknya penolakan dari masyarakat soal pemberitaan oleh Metro TV, dan Kompas TV membuat salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen, Ahmad Taufik Jufri angkat bicara. Pasalnya, ketika penghormatan terhadap hak masyarakat diabaikan, maka masyarakat tidak lagi menghormati hak jurnalis untuk memperoleh informasi. “Sungguh sedih dengan situasi seperti ini. Kebebasan pers yang sudah diperjuangkan bisa menjadi set back ke zaman orde baru (rezim suharto) jika Jurnalis dan media massa menyediakan diri menjadi “budak” pemilik media yang busuk, yang cuma memikirkan kepentingan bisnis dan politiknya,” sesalnya.

Dia sangat menyayangkan hal tersebut, namun itulah yang terjadi di lapangan. Karena, kata dia, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dan Dewan Pers bersikap pasif. “Artinya kalau ada laporan baru ada proses tindakan. Sehingga, para pemilik TV yang memiliki framing tertentu merasa prosesnya sudah tanpa melihat kembali pada hak masyarakat memperoleh informasi yang benar, mengabaikan prinsip keberimbangan dalam peliputan, dan kurang memberi tempat pada pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya,” jelasnya pria yang gemar memakai batik ini.

Pria bersahaja yang akrab dipanggil AT ini juga mempermasalahkan tentang framing yang dilakukan oleh kedua media tersebut. “Kedua media ini dianggap masyarakat pendukung Ahok dan anti demo tak berimbang dan mem framing berita pro Ahok sehingga melupakan prinsip keberimbangan dalam peliputan beritanya. Hal ini terjadi karena pemilik TV mengelola bisnis dan politik yang berhubungan dengan yang didukungnya,” paparnya.

Misalnya, Metro TV, lanjut dia, pemiliknya Surya Paloh sekaligus ketua partai Nasdem. Partai tersebut salah satu pendukung Ahok. “Sebagai partai okelah, tapi ketika sudah diturunkan ke media keinginan pemilik tv yang juga ketua parpol Nasional Demokrat (NasDem) medianya menjadi bias dan tak berimbang,” sesalnya.

Taufik juga melanjutkan, dalam talk show dan wawancara acara di MetroTV cenderung menampilkan nara sumber dari partai pemilik tersebut, itupun politisi yang pro kepada pendapat ketuanya. “Seorang politisi dari partai Nasdem bercerita, dia ingin diwawancara tv tersebut mengenai ahok, penistaan, dan aksi 4 November. Dan dia bilang tidak akan berpendapat yang tidak sesuai dengan suara Metro TV yang pro Ahok bagaimana? Produser acara tv itupun membatalkan dia menjadi nara sumber,” katanya.

Ahmad Taufik yang seorang Wartawan Senior Tempo itu mengatakan, kalau Kompas TV walaupun tidak terkait dengan partai politik, kemungkinan pemiliknya beragama sama dengan Ahok atau karena ada kepentingan bisnis lain. “Saya pikir tentu Kompas tidak akan mengorbankan independensi jurnalistiknya selama ini. Tapi kecenderungan Kompas TV pro Ahok sangat terasa dalam peliputan beritanya. Kembali, gara-gara medianya punya kecenderungan yang dianggap kelompok masyarakat pro pada pihak tertentu. Di lapangan yang menjadi korbannya adalah jurnalis atau kameramannya seperti yang terjadi pada aksi 4 November,” ungkapnya.

Bukan kali ini saja, lanjut Taufik, dalam kasus penggusuran di akuarium Penjaringan, Kampung Pulo, dan Bukit Duri, kedua media itu tak berimbang dan pro penggusuran yang dilakukan Ahok dengan kekerasan melalui aparatnya. Sehingga di lapangan jurnalisnya lah yang menjadi korban, diusir dan dilecehkan. “Puncaknya terjadi pada aksi 4 Nov, dalam massa yang banyak sulit terkontrol. Kecuali jurnalisnya harus pandai melihat situasi,” tutupnya.

Kode etik pertama dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan, Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar. Kode etik AJI itu lalu diterima oleh 28 organisasi jurnalis lainnya menjadi Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). (Red)

Berita Terkait

Berikan Komentar