Tranparansi dan Akuntabel Royalti Musik Menjadi Sorotan PHRI Kota Bogor

Mediabogor.co, BOGOR – Polemik pembayaran royalti musik yang tengah menjadi sorotan nasional turut mendapat perhatian dari Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Bogor, Yuno Abeta Lahay.

Ia menilai, persoalan royalti sebenarnya bukan hal baru karena dasar hukumnya sudah ada sejak Undang-Undang Hak Cipta tahun 2014 dan implementasi pada 2016. Namun, mekanisme pemungutan hingga pembagian yang belum transparan dinilai menjadi sumber masalah.

“Yang menjadi polemik itu kan salah satunya kasus di Bali dengan nilai miliaran. Nah, makanya mekanisme ini harus benar-benar dipahami oleh teman-teman kafe dan restoran, jangan sampai salah sangka. Royalti itu aturannya banyak,” katanya kepada wartawan, Jum’at 16 Agustus 2025.

Menurutnya, pelaku usaha hotel, restoran, dan kafe sebenarnya tidak keberatan untuk membayar royalti. Namun, keberatan muncul karena sistem perhitungan yang dinilai tidak adil. Ia mencontohkan, hitungan royalti menggunakan jumlah kursi restoran dianggap tidak realistis.

“Kalau restoran punya 100 kursi dikali Rp120 ribu, berarti Rp12 juta setahun. Pertanyaannya, emang kursinya selalu terisi? Kan tidak. Dari sisi keadilan ini yang jadi masalah,” jelasnya.

Lebih jauh, Yuno menegaskan bahwa persoalan royalti melibatkan tiga pihak: pelaku usaha sebagai pemutar musik, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan LMK sebagai pemungut dan penyalur, serta para pemilik hak cipta seperti artis, pencipta, hingga produser. Namun, transparansi pembagian royalti kerap dipertanyakan, bahkan dari kalangan musisi sendiri.

“Dari pemungutan yang kami bayarkan, pembagiannya banyak dipertanyakan. Ada polemik Mas Ari Lasso dan lain-lain. Nah, problemnya di situ. Makanya ini momentum untuk duduk bersama, evaluasi undang-undangnya, dan bikin sistem yang transparan serta akuntabel supaya semua happy,” tegasnya.

Yuno mendorong agar sistem royalti di era digital saat ini bisa langsung menggunakan skema direct licensing, di mana setiap lagu yang diputar otomatis terbayar royalti secara digital. Dengan begitu, distribusi bisa lebih transparan dan adil.

“Kami tidak sedikit pun berniat untuk tidak menghargai hak para musisi. Kami tahu hidup mereka dari sana, kami mau bayar. Tapi yang kami harapkan juga adil dan amanahnya sampai tepat sasaran,” ujarnya.

Terkait aturan, Yuno menegaskan bahwa pelaku usaha tidak bisa menghindar karena sudah ada turunan regulasi berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021. Karena itu, menurutnya hanya ada dua pilihan bagi pelaku usaha: tetap memutar musik dengan konsekuensi membayar royalti, atau berhenti memutarnya sama sekali.

“Sudah jelas pilihannya. Kalau putar musik, siap-siap bayar royalti. Kalau tidak mau bayar, jangan putar musik. That’s it,” ucapnya.

Ia juga menyebut, sebagian hotel, restoran, dan kafe kini memilih tidak memutar musik demi menghindari risiko hukum. Hal ini berdampak pada suasana usaha, namun sekaligus menjadi bentuk edukasi kepada masyarakat bahwa layanan utama tetap pada produk dan pelayanan, bukan musik.

“Kalau memang jual kamar ya jual kamar, kalau jual makanan ya makanan. Musik memang mendukung, tapi kalau tidak ya masyarakat juga harus paham penyebabnya,” tambah Yuno.

Yuno berharap revisi aturan soal royalti yang kini mendapat perhatian DPR RI bisa benar-benar menghasilkan sistem yang lebih adil, transparan, dan sesuai perkembangan zaman.

“Kita benerin lah, kita bikin lebih fair, lebih terbuka. Sekarang teknologi digital ada, jadi kenapa tidak dimanfaatkan? Kan lebih mudah dan langsung,” pungkasnya. (Ery)

Berita Terkait

Berikan Komentar