
PT Sentul City Tak Punya Wewenang Kelola Air dan Harus Biayai PSU
PT Sentul City Tak Punya Wewenang Kelola Air dan Harus Biayai PSU
Mediabogor.com, BOGOR – Pada 28 April 2018, Pengadilan Negeri Cibinong telah mengeluarkan penetapan eksekusi atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 3415 K/Pdt/2018 dalam perkara Biaya Pemeliharaan dan Pengelolaan Lingkungan (BPPL) yang ditagihkan kepada warga Sentul City oleh PT Sukaputra Graha Cemerlang, anak perusahaan pengembang PT Sentul City, Tbk. Putusan itu menghukum PT Sentul City dan PT Sukaputra membiayai pemeliharaan prasarana, sarana, dan utilitas di kawasan Sentul City sampai ada penyerahan kepada Pemerintah Kabupaten Bogor.
Dengan adanya penetapan atas eksekusi putusan itu, maka konsekuensinya adalah seluruh biaya terkait pemeliharaan PSU tak boleh dibebankan kepada warga karena itu tanggung jawab penuh PT Sentul City dan PT Sukaputra. Apalagi Putusan Mahkamah Agung juga menyatakan PT Sentul City dan PT Sukaputra tak berhak menagih BPPL dari warga di seluruh kawasan Sentul City.
Pada 8 Mei 2020, Komite Warga Sentul City (KWSC) juga menerima salinan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 104 PK/TUN/2019 yang diputuskan Majelis Hakim Mahkamah Agung pada 22 Oktober 2019. Putusan PK menguatkan Putusan Kasasi Nomor 463 K/TUN/2018 pada 11 Oktober 2018 yang mengabulkan gugatan kami, yakni membatalkan izin SPAM untuk PT Sentul City dan mewajibkan Bupati Bogor mencabut izin SPAM tersebut.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim PK menyampaikan pendapat menarik, yang layak diperhatikan rekan-rekan jurnalis. Pendapat ini menunjukkan bagaimana seharusnya air bersih dikelola. Pendapat ini bisa berguna bukan hanya bagi kami, warga Sentul City, tapi juga bagi banyak warga perumahan atau apartemen yang mengalami ketidakadilan serupa, apalagi kini muncul adanya gagasan township management, di mana pengembang mendapatkan wewenang yang tak semestinya.
Pendapat itu adalah sebagai berikut:
1) PT Sentul City terbukti mengandalkan bulk water sebagai sumber air baku dari PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor. Hal ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 tentang SPAM yang mewajibkan pemegang izin SPAM memiliki sumber air baku dari sumber air permukaan, cekungan tanah, atau air hujan.
2) PT Sentul City tak bisa membuktikan kebenaran klaim mereka selama ini bahwa mereka memiliki sarana dan prasarana pengambilan dan penyediaan air baku (sebagian besar sarana dan prasarana yang diklaim itu sebenarnya juga milik Pemerintah Kabupaten sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009)
3) Adanya perjanjian jual beli air baku antara PT Sentul City dan PDAM Tirta Kahuripan menunjukkan bahwa Pemerintah Kabupaten Bogor telah mampu menyediakan air bersih kepada warganya yang tinggal di Sentul City. Jadi, klaim Pemerintah Kabupaten bahwa mereka belum mampu melakukan itu tidak dapat dibenarkan (keputusan ini selaras dengan rekomendasi Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya bahwa Pemerintah Kabupaten telah mengabaikan hukum atau malaadministrasi dengan adanya perjanjian jual beli air dengan PT Sentul City).
4) Tarif air yang ditetapkan Pemerintah Kabupaten di Sentul City ternyata bukan hasil kesepakatan antara PT Sentul City dengan warga atau mediator warga. Tarif itu semata usulan PT Sentul City. Ini juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan salinan Putusan PK ini, maka sekali lagi kami menegaskan PT Sentul City tak memiliki wewenang mengelola air bersih di Sentul City, sehingga aksi perusahaan itu membongkari meteran air sejumlah warga bisa dipandang sebagai tindakan ilegal.
Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan masih menunjukkan adanya ketidakadilan tersebut. Kami meng-update situasinya kepada rekan-rekan jurnalis sebagai berikut:
1) Bupati Bogor telah mencabut izin SPAM dan, berdasarkan konsultasi dengan Ombudsman, sepakat menetapkan periode transisi peralihan pengelolaan air bersih di Sentul City dari PT Sentul City ke PDAM Tirta Kahuripan, yang harus tuntas pada Juni 2020.
2) Tapi, selama masa transisi tersebut, PT Sentul City tetap melakukan tindakan pembokaran meteran air warga dengan alasan penagihan BPPL yang jelas sudah diputus pengadilan sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Selain itu, meteran warga yang telah dibongkar sebelumnya juga tak dipasang kembali.
3) Masa transisi bukanlah alasan bagi Pemerintah Kabupaten, PDAM Tirta Kahuripan, dan pihak-pihak terkait untuk membiarkan tindakan tersebut terjadi. Sebab, Putusan Kasasi sudah diputuskan pada akhir 2018 dan juga Putusan Kasasi pada akhir 2019. Apalagi, KWSC juga sudah mendapatkan Ekskusi Putusan Kasasi pada Agustus 2019 dari PTUN Bandung.
Karena itu, KWSC menuntut Pemerintah Kabupaten, PDAM Tirta Kahuripan, Pemerintah pusat, dan lembaga-lembaga negara terkait lainnya memerhatikan putusan demi putusan pengadilan tersebut. Jika putusan pengadilan, dan bahkan di tingkat puncak, tak dijalankan, apa artinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disebut “negara hukum” ini?
Demikian siaran pers ini kami sampaikan. Kami mengucapkan terima kasih atas perhatian dan kerja sama rekan-rekan jurnalis.
Sentul City, 13 Mei 2020
Deni Erliana
Juru Bicara KWSC
Berikan Komentar