
Paksa Masuk Ruang Balai Kota Bogor, Massa Unpak Todong 10 Kesepakatan ke Wali Kota Dan DPRD
mediabogor.com, Bogor – Aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Pakuan (Unpak) Bogor yang menduduki Balai Kota Bogor diwarnai kericuhan saat mahasiwa memaksa masuk ruang Paseban Sri Bima, Balai Kota Bogor, pada Selasa (24/9/19) siang. Aksi saling dorong pun tak terhindari antara mahasiswa dengan staf balaikota dan Satpol PP yang berdiri menjaga pintu masuk ruangan.
Terdapat puluhan Satpol PP yang menjaga pintu. Di depan pintu, mereka berdiri tegap sambil mendorong para mahasiswa. Para Satpol PP juga tampak saling berkoordinasi agar menjaga pertahanan di depan pintu. Mereka juga tidak henti untuk meminta agar mahasiswa mundur dan tidak memaksa masuk ke dalam balaikota.
“Tahan, tahan. Tolong mundur, kalian mau nemui siapa di dalam?,” kata salah satu Satpol PP.
Sementara, ratusan mahasiswa yang berada di depan pintu balaikota terus mendorong, memaksa agar petugas Satpol PP membukakan pintu. “Buka buka buka pintunya buka pintunya sekarang juga,” sorakan mahasiswa di depan pintu kantor Wali Kota Bogor.
Karena tidak bisa menahan amarah mahasiswa, akhirnya pintu itu pun dibuka. Sejumlah perwakilan massa aksi dari Universitas Pakuan diterima dan duduk di kursi rapat pemerintah Kota Bogor di Paseban Sri bima untuk berdialog dengan Wali Kota Bogor, Bima Arya dan pimpinan DPRD Kota Bogor di ruang Paseban Sri Bima, gedung Balai Kota Bogor. Sedangkan ratusan mahasiswa lainnya ikut masuk untuk mendengarkan audiensi. Sebagian lainnya menunggu hasil audiensi di halaman plaza Balai Kota Bogor.
Beberapa menit kemudian, audiensi berpindah ke luar ruangan. Wali Kota Bima Arya beserta anggota DPRD kemudian keluar menyampaikan tanggapannya. Dalam audiensi ini, beberapa point tuntutan mahasiswa dibacakan oleh wakil DPRD Kota Bogor, Dadang Danubrata. Adapun isi tuntutan yang dibacakan yakni menolak pelemahan KPK, menolak RKUHP, pembakaran hutan di Pekanbaru, Riau dan Kalimantan, menolak RUU Pertanahan, pencemaran lingkungan dan pelanggaran HAM. Serta menolak kriminalisasi aparat kepolisian kepada mahasiswa Unpak pada aksi sebelumnya.
Di hadapan ratusan mahasiswa, Ketua DPRD Kota Bogor, Atang Trisnanto berjanji, akan mengirim surat kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Jakarta soal penolakan RUU KPK dan KUHP. “Kalau kalian enggak percaya, kami akan membuat surat resmi untuk menyampaikan suara kalian. Kalau enggak diterima kita berangkat bersama-sama ke sana,” kata Atang Trisnanto saat menyampaikan pendapatnya di hadapan mahasiswa.
Atang mengatakan, isu soal RUU KPK dan KUHP serta tuntutan mahasiswa lainnya termasuk isu nasional yang tidak bisa diselesaikan di Kota Bogor. Atang menegaskan, bahwa DPRD dan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor hanya memiliki wewenang membuat peraturan daerah. Soal undang-undang itu wewenangnya DPR RI dan Presiden.
Sementara, Wali Kota Bogor, Bima Arya mengatakan, ada jalan yang bisa ditempuh untuk menolak revisi RUU KPK. “Teman-teman, UU revisi KPK telah disahkan. Tetapi masih ada jalan secara hukum yaitu kita mendorong, kita menyerukan agar yang paling berwenang menerbitkan Perpu untuk mengganti UU yang telah disahkan tadi. Saat ini, hanya itu jalannya,” katanya dihadapan mahasiswa.
Pidato Bima itu pun diteriaki oleh mahasiwi. Dengan nada suara melengking seorang mahasiswi berteriak PHP (pemberi harapan palsu). Menanggapi teriakan itu, Bima pun bertanya kepada mahasiswa.
“Yang PHP bukan Wali Kota. Yang menerbitkan Perpu bukan walikota tapi? Tetapi?,” teriak Bima. Mendengar itu, mahasiswa pun berteriak, presiden presiden. Kita dorong presiden menerbitkan Perpu, setuju?,” kata Bima menyambut teriakan mahasiswa.
Bima mengatakan, bahwa Perpu bisa diterbitkan dalam kondisi genting. Tak hanya itu, Bima pun menyampaikan bahwa wali Kota Bogor akan memberikan ruang kepada masyarakat dan mahasiswa untuk menyampaikan aspirasinya.
“Apakah hari ini genting dan memaksa?, genting, yang lain juga darurat dan genting. Kebakaran hutan darurat betul, UU KUHP yang baru di dalamnya bisa memberangus demokrasi betul. Insya Allah saya sepakat sepenuhnya dengan kawan-kawan, sebagai walikota saya akan memberikan ruang kebebasan dengan teman teman,” ujarnya.
Selain tuntutan di atas, para mahasiswa juga menuntut walikota dan pimpinan DPRD yang hadir membuat kesepakatan bersama. Ada 10 point kesepakatan yang dibuat yakni:
1. Kalau seandainya terjadi refresif kepada mahasiswa, oknum yang melakukan itu harus diadili.
2. Alat negara harus diproses secara hukum. Mahasiswa minta untuk dipecat.
3. Isu-isu nasional akan diteruskan ke presisen RI. Akan dibuatkan surat resmi untuk menyampaikan aspirasi kepada presiden RI.
4. Menyepakati isu-isu yang dibawa mahasiswa universitas Pakuan.
5. Setuju dengan point-point yang dibuat serta diajukan mahasiswa universitas Pakuan.
6. Menerbitkan Perpu baru pengganti Undang-Undang.
7. Untuk aparat yang menangani secara berlebihan diproses secara hukum.
8. Hari ini buat surat lalu akan disampaikan kepada DPR RI dan presiden RI.
9. Fasilitas untuk hari Rabu tanggal 25 September 2019 difasilitasi untuk keberangkatan.
10. Jika surat tidak dibuat hari ini siap untuk mengundurkan diri.
Berikan Komentar