
Pakar IPB University Paparkan Peningkatan Populasi Sapi di Indonesia
Mediabogor.co, BOGOR – Guru Besar Tetap Fakultas Peternakan IPB University Prof. Dr. Jakaria, SPt., M.Si menyampaikan pra orasi ilmiah secara virtual melalui zoom meeting.
Dalam orasi, Prof. Dr. jakaria menjelaskan Upaya peningkatan produktivitas sapi pedaging di Indonesia terus dilakukan dengan berbagai pendekatan, seperti peningkatan kualitas dan kuantitas pakan berbasis bahan baku lokal, manajemen pemeliharaan, manajemen reproduksi dan penanganan serta pencegahan penyakit.
Selain itu, upaya peningkatan kualitas juga tidak kalah pentingnya, yaitu melalui peningkatan terhadap mutu genetik khususnya sapi Bali. Secara konvensional, peningkatan mutu genetik sapi Bali dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu seleksi dan persilangan (cross-breeding).
“Jumlah populasi sapi nasional, sapi Bali berkontribusi sebanyak 26.5% dengan populasi utama tersebar di pulau Bali, NTB, NTT, Sulawesi Selatan dan Lampung. Dilihat dari jumlah penduduk Indonesia 272 juta jiwa, kebutuhan daging nasional masih belum dapat dipenuhi dan bahkan masih defisit sebesar 39%,” ujarnya.
Secara nasional, lanjut Prof. Dr. Jakaria, kebutuhan bibit masih sangat tinggi (7.745 ekor), akan tetapi bibit yang dihasilkan masih sangat terbatas, dan dalam 11 tahun (2011-2022) dihasilkan bibit bersertifikat 2.409 ekor atau 31.1% (LsPro Dirjen PKH 2022).
Prof Jakaria menjelaskan, aplikasi konsep pemuliaan ternak konvensional (seleksi berdasarkan data fenotipik dan persilangan) dan non-konvensional (menggunakan informasi data genom) untuk menghasilkan bibit menjadi salah satu alternatif dan cara baru dalam membangun metode seleksi yang lebih efektif dan efesien.
Sejak ditemukan teknologi Polymerase Chain Reaction (PCR) dan teknologi sekuensing, terang Prof Jakaria, marka genetik berbasis genom menjadi sangat intensif dilakukan dan dianalisis khususnya pada sapi Bali untuk mendapatkan data genom yang dapat digunakan sebagai marker assisted selection (MAS).
“Analisis keragaman genom inti menggunakan marka DNA mikrosatelit dan DNA mitkondria berdasarkan fragmen D-loop dan gen 16SrRNA ditemukan alel dan haplotype spesifik sapi Bali yang tidak ditemukan pada rumpun sapi lainnya,” katanya.
Berdasarkan analisis filogenetik, banteng sebagai moyang sapi Bali populer dikenal sebagai Bos javanicus, berbeda dengan dengan rumpun sapi pedaging lainnya (Bos taurus dan Bos indicus).
Aplikasi marka berbasis total genom yaitu Bovine SNP 50K (bead chip) memperkuat hasil dan sejalan dengan penggunaan marka DNA mikrosatelit dan DNA mitokondria, bahwa sapi Bali berbeda dengan rumpun sapi lainnya di dunia.
Hasil ini juga menunjukkan bahwa terdapat introgresi banteng sebagai moyang sapi Bali kurang lebih 6% pada sapi Peranakan Ongole (PO).
Adapun analisis gen-gen potensial terutama gen yang berperan terhadap sifat pertumbuhan (gen GH, GHR, Pit-1, MYF5), sifat reproduksi (gen PRL, STAT5A, UTMP), sifat kualitas daging (gen CAST, CAPN, SCD, ADIPOQ, EDG1) dan gen-gen yang berhubungan dengan abnormalitas genetik (gen Factor XI Deficiency; FX1D dan Complex Vertebral Malformation; CVM) telah dianalisis dan menunjukkan tidak ada kelainan genetik (normal) pada sapi Bali.
Gen-gen potensial yang memiliki keragaman tinggi dan berasosiasi nyata dengan pertumbuhan yaitu gen MSTN dan PLAG-1, sedangkan gen kualitas daging adalah gen CAST, CAPN, dan SCD.
“Berdasarkan hasil analisis genom yang diperoleh dapat menjadi rujukan dalam strategi pemuliaan sapi Bali ke depan. Gen-gen yang berasosiasi dengan sifat pertumbuhan dan kualitas daging dapat dijadikan sebagai kandidat marka genetik atau marker assisted selection (MAS).
Saat ini, masih kata Prof Jakaria, pemanfaatan teknologi genomik telah diterapkan di negara lain sebagai salah satu metode dalam menentukan bibit, seperti pada sapi Limousin dan sapi Belgian blue dengan menggunakan data genom dalam bentuk haplotype, alel DNA mikrosatelit dan SNP.
Dengan begitu, pemanfaatan data genom sapi Bali ke depan juga dapat dimanfaatkan dalam menentukan potensi genetik sapi Bali baik sebagai penghasil bibit untuk tujuan produksi daging atau penghasil daging premium.
“Dengan demikian, arah pengembangan dan pemanfaatan sapi Bali ke depan dapat difokuskan sebagai penghasil daging premium,” papar Prof Jakaria.
Ia menyebut untuk mencapai tujuan tersebut, pendekatan yang dapat dilakukan selain berbasis pada pemuliaan konvensional, akan tetapi juga non-konvensional, yaitu menggunakan data genom yang telah diperoleh.
Disamping itu, penguatan kerjasama antar akademisi, pebisnis, pemerintah, masyarakat dan media.
“Selain itu, melibatkan bidang ilmu lain terutama teknologi multi omik (genomik, trankriptomik, proteomik dan metabolomik),” tandasnya. (Andi)
Berikan Komentar