
Ditetapkan Status Terdakwa Kasus Dugaan Kekerasan Seksual, Anggota DPRD Depok Rudy Kurniawan Masih Terima Gaji Hingga Tunjangan
Mediabogor.co, DEPOK – Kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan anggota DPRD Depok, Rudy Kurniawan terhadap seorang siswi SMP hingga kini masih menyita perhatian publik.
Terkait hal itu, Rudy Kurniawan sendiri telah menjalani sidang dengan status sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Depok.
Kasus itu kian disorot lantaran diduga terdapat banyak kejanggalan karena dianggap berpihak pada rasa keadilan korban.
Kritik tajam atas kasus itu setidaknya kembali disuarakan aliansi Jaringan Masyarakat Sipil atau JMS.
Organisasi yang dikenal cukup peduli dengan kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan ini menyoroti beberapa hal yang dinilai telah mencederai rasa keadilan.
Di antaranya, meski telah ditetapkan sebagai terdakwa, namun Rudy Kurniawan sendiri hingga saat ini masih menerima gaji, tunjangan dan fasilitas sebagai anggota DPRD Depok.
“Situasi ini bagi kami, semakin memperparah kerentanan anak sebagai korban kekerasan seksual, terutama ketika pelakunya adalah pejabat publik, seperti anggota DPRD dan partai politik,” bunyi keterangan resmi Jaringan Masyarakat Sipil dikutip pada Selasa, 15 Juli 2025.
“Kami, Jaringan Masyarakat Sipil, menyampaikan keprihatinan serius atas pengabaian negara dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak ini,” sambungnya.
Dalam keterangannya, JMS menilai, sidang yang akan memasuki agenda pemeriksaan saksi korban pada Rabu, 16 Juli 2025, semakin memperparah situasi. Sebab, hingga saat ini korban masih berada dalam penguasaan keluarga pelaku.
Menurut JMS, kondisi ini sangat berisiko terhadap keamanan dan psikologis korban, dan menunjukkan kegagalan dalam perlindungan yang semestinya diberikan oleh negara.
“Kami menilai bahwa aparat penegak hukum, khususnya Jaksa Penuntut Umum, telah gagal menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya dalam melindungi korban.”
Padahal, lanjut JMS, Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 secara tegas mewajibkan adanya pertemuan pendahuluan antara jaksa dan korban untuk mengidentifikasi kebutuhan mereka seperti rumah aman.
Kemudian pendampingan psikologis, serta bentuk pemulihan lain yang menjadi ranah kerja UPTD PPA Depok dan LPSK.
“Namun, dalam kasus ini, kewajiban vital tersebut tidak terlaksana,” katanya.
Lebih jauh, pertemuan pendahuluan menjadi krusial mengingat proses pemeriksaan di tingkat kepolisian telah berlangsung lama.
Korban perlu difasilitasi untuk membaca ulang dokumen-dokumen Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat saat penyidikan agar dapat mempersiapkan diri menjawab pertanyaan dalam pemeriksaan saksi dengan lebih baik.
“Ini penting agar proses persidangan berjalan secara adil dan tidak membebani korban lebih lanjut secara mental maupun hukum.”
JMS memastikan, bahwa hingga hari ini, pertemuan pendahuluan belum dilakukan, bahkan kebutuhan fisik dan psikis korban tidak pernah diasesmen.
Padahal, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum membuka ruang agar korban dapat diperiksa melalui video konferensi apabila memiliki keterbatasan fisik atau psikis.
Namun, ketiadaan asesmen awal ini mengakibatkan belum adanya langkah dari aparat penegak hukum untuk memastikan apakah korban berhak atau memerlukan pemeriksaan jarak jauh.
“Yang lebih memprihatinkan, penanganan kasus ini juga diwarnai dengan saling lempar tanggung jawab antar lembaga,” bunyi keterangan resmi JMS.
Organisasi itu juga menyebut, tidak ada kejelasan siapa yang memimpin pemenuhan hak-hak korban, terutama dalam melakukan evakuasi korban dari kediaman rumah pelaku yang krusial bagi keamanan dan pemulihan psikologis korban, telah menjadi hambatan serius.
“Situasi ini mencederai prinsip hukum acara dan merusak harapan akan keadilan substantif bagi korban, khususnya anak perempuan sebagai penyintas kekerasan seksual,” timpal keterangan lanjut dalam rilis JMS.
Sikap protes juga diungkankan Tuani dari LBH Apik Jakarta.
Menurut dia, pengabaian terhadap hak-hak korban dalam kasus ini merupakan pelanggaran serius atas kewajiban hukum negara, tidak hanya dalam kerangka Hak Asasi Manusia (HAM) nasional, tetapi juga internasional.
Indonesia, melalui ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.
Undang-Undang tersebut telah secara tegas menyatakan komitmennya untuk mengutuk dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Tuani mengatakan, bahwa konvensi ini secara eksplisit mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah yang tepat, cepat, dan tanpa penundaan guna mencegah, menghapus, serta tidak melakukan praktik-praktik diskriminatif.
Sekaligus, menjamin bahwa seluruh pejabat dan lembaga negara bertindak sesuai dengan kewajiban tersebut.
“Oleh karena itu, pengabaian perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban dalam kasus ini merupakan cerminan kegagalan negara dalam memenuhi amanat CEDAW, khususnya dalam memastikan non-diskriminasi dan perlindungan menyeluruh bagi perempuan,” katanya.
Tuani menegaskan, bahwa pengabaian dalam menjamin perlindungan korban juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Undang-Undang itu secara tegas menyatakan bahwa setiap korban berhak atas perlindungan menyeluruh, akses terhadap keadilan, pemulihan yang layak, serta terbebas dari segala bentuk tekanan, intimidasi, atau ancaman dalam proses hukum,” katanya.
Atas hal tersebut Jaringan Masyarakat Sipil mendesak :
1. Jaksa Penuntut Umum untuk segera melakukan evakuasi korban dari lingkungan pelaku.
Serta melaksanakan pertemuan pendahuluan dengan korban untuk mengidentifikasi kebutuhan perlindungan dan pemulihan, sesuai dengan kewajiban hukum dan etika profesi.
2. Kepolisian Republik Indonesia, untuk menindak tegas siapapun yang merintangi proses penegakan hukum dalam kasus ini.
3. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) untuk segera turun tangan secara langsung dalam memastikan korban mendapatkan perlindungan yang layak dan komprehensif.
Termasuk berkoordinasi dengan lembaga terkait untuk segera memindahkan korban ke lokasi yang aman.
Mengeluarkan pernyataan publik dan sikap resmi atas kasus ini sebagai bentuk keberpihakan terhadap korban anak dan mendorong perbaikan sistemik dalam perlindungan korban kekerasan seksual.
Memastikan tersedianya layanan pendampingan dan pemulihan terpadu bagi korban, termasuk layanan psikososial dan hukum, sesuai mandat perlindungan anak yang diemban Kemen PPPA.
4. LPSK segera meninjau kembali kebutuhan perlindungan korban secara menyeluruh, termasuk asesmen untuk pemenuhan kebutuhan rumah aman dan dukungan psikologis.
5. Pengadilan Negeri Depok dan aparat terkait agar memastikan pemenuhan hak korban untuk pemeriksaan secara layak, termasuk kemungkinan pemeriksaan jarak jauh (video conference).
6. KPAI, Komnas Perempuan, dan lembaga pengawas lainnya turut melakukan pemantauan aktif dan mendesak penyelenggara peradilan agar berpihak pada pemulihan korban.
Kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan berat yang harus ditanggapi denganperlindungan luar biasa.
Ketidakmampuan negara dalam menjamin hak-hak dasar korban merupakan pengkhianatan terhadap amanat konstitusi dan keadilan itu sendiri.
“Oleh karena itu, kami menyerukan seluruh elemen negara yang terkait untuk segera bertindak,” kata Wakil Ketua Yayasan Kalyanamitra, Rena Herdiyani.
“Demi setiap anak Indonesia, kita wajib menghentikan trauma dan menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Kini saatnya negara hadir sepenuhnya, menunaikan janji konstitusi, dan mengembalikan harapan bagi yang paling rentan,” sambungnya.
Berikan Komentar