Demokrasi Oligarki Pemrakarsa Mega Korup

Demokrasi Oligarki Pemrakarsa Mega Korup

 

Oleh: Pietra Kharisma
Rubrik: Netizen

 

Belum selesai kasus jiwasraya yang tenggelam oleh natuna. Skandal korupsi asabri naik ke permukaan, diikuti oleh berlanjutnya dugaan korupsi WS selaku komisioner KPU yang digadang-gadang memperjelas adanya kepentingan sekelompok boneka, bukan lagi kepentingan personal semata.

 

Menggelikan, kasus WS berbuntut pada terlibatnya sebuah parpol yang kini tengah berkuasa. Hal ini menjadi penghalang proses OTT (Operasi Tangkap Tangan) yang terjegal oleh Izin Dewan Pengawas yang seharusnya leluasa menggeledah PDIP.

 

Lucunya, saat kantor KPU digeledah lalu dipasang KPK Line, bahkan saat SetNov tertangkap di dalam gedung DPR. Ini hanya sekelas kantor parpol saja, KPK tak kuasa menembus untuk melanjutkan penyelidikannya.

 

Bahkan sampai kamis (30/01/2020) “..belum ada pemeriksaan tersangka dan penetapan tersangka baru dan tim penyidik masih fokus kepada pemeriksaan saksi dan ahli,” kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Hari Setiyono, dalam keterangannya, Jumat (31/1/2020).

 

Dilansir dari tribunnews.com bahwa penyidik yang mencari Sekjen PDIP, anggota Megawati yakni Hasto Kristiyanto ke PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian), diduga mengalami intimidasi dari polisi. Bahkan mereka disandera hingga subuh dan dipaksa cek urine oleh anggota kepolisian. Mengapa pihak polisi seolah melindungi?

 

Publik akhirnya semakin meyakini bahwa, adanya UU no.19 tahun 2019 yang disahkan dengan terburu-buru itu, telah nyata memperlemah kinerja KPK.

 

Seperti yang kita ketahui, Indonesia menggunakan sistem proporsional terbuka, siapa saja yang memperoleh suara terbanyak, dialah yang akan mendapatkan kursi. Itu artinya, jika Nazarudin Kiemas meninggal, maka digantikan oleh suara terbanyak kedua, yakni Riezky Aprilia. Namun, mengapa PDIP ngotot mempertahankan Harun Masiku yang menduduki posisi ke 5 dari perolehan suara yang diperjuangkan oleh PDIP ? Sungguh, mengundang pertanyaan besar.

 

Anggapan publik terhadap KPK yang tebang pilih pun bukan lagi dinilai rumor tanpa bukti. Karena bagaimana pun juga, orang-orang yang terlibat dalam tubuh KPK banyak juga yang bersinggungan dengan penguasa.

 

Sebutlah, seperti skandal mega korup Bank Century, KPK hanya mampu membekuk orang-orang luarnya saja. Adapun dalang di balik perampokan uang negara itu, tak mampu disentuh KPK. Benarkah korupsi kecil-kecilan yang tetap merugikan dilestarikan demi membangun legitimasi yang kini tak dimiliki pemerintah? Sebab, skandal Mega Korup justru seperti sulit terjangkau lalu dibiarkan tenggelam dengan “menaikan isu-isu buatan?”

 

Para koruptor kelas kakap seperti Sjamsul Nursalim alias liem tek siong (BLBI 65,4T), Usman Admadjaja (BLBI 35,6T), Lesmana Basuki (SBU 13,2T), Tony Suherman (SBU 13,2T) Robert Tantular (Century 6,7T), Edi Tanzil (Bapindo 9T) dan lainnya yang masih menjadi buronan sampai saat ini, adalah bukti bahwa KPK tebang pilih dalam menangani korupsi yang tak berkesudahan.

 

Belum genap 1 abad demokrasi berkuasa di Indonesia, mengapa skandal mega korup tak pernah tuntas penyelesaiannya?

 

Sudah saatny umat mengetahui bahwa, ada sistem selain demokrasi yang sumber aturannya lahir dari kitab suci Al Quran dilengkapi dengan hadist-hadist sebagai penjelas. Sistem yang kini dikriminalisasi oleh rezim demokrasi. Khilafah, memiliki perangkat yang tidak ditemukan dalam sistem demokrasi. Satu-satunya motivasi calon pemimpin dalam sistem khilafah, menduduki kursi jabatan adalah ketakwaanya kepada Allah.

 

Bukan kekayaan yang mereka incar, tetapi pahala. Mereka hanya takut kepada Allah SWT. Jika ada rakyatnya yang terzalimi, maka dia akan menjadi orang yang paling dibenci Allah SWT. “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang zalim.” (HR. Tirmidzi)

 

Tata cara kepengurusan umat, telah tertuang dalam alquran dan al hadist. Khilafah akan menyertakan para politisi yang diliputi oleh keimanan yang tinggi, tentulah partai politik yang ada, akan berisikan orang-orang yang saleh. Pacu yang mendorong pergerakan partai pun adalah akidah Islam, bukan kemaslahatan.

 

Jika terpilih, jangankan korupsi yang merugikan masyarakat, kemaslahatan hewan pun jadi perhatian. Seperti yang dilakukan khalifah Umar. Umar bin Khaththab RA suatu kali pernah bertutur, “Seandainya seekor keledai terperosok ke sungai di kota Baghdad, niscaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya dan ditanya, ‘Mengapa engkau tidak meratakan jalan untuknya?’.”

 

Hukum sanksi bagi koruptor dalam sistem Islam sangat menjerakan. Menurut Ustadz Hafidz Abdurahman, dikarenakan korupsi ini tidak termasuk mencuri dalam pengertian syariat. Maka kejahatan ini tidak termasuk dalam kategori hudud. Tetapi, masuk dalam wilayah ta’zir, yaitu kejahatan yang sanksinya diserahkan kepada ijtihad hakim. Sanksinya seperti yang tadi disebut, bisa berbentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati.

 

Oleh karena itu, jika kita menginginkan permasalahan korupsi selesai di negeri ini, tak cukup hanya sekadar mengandalkan lembaga seperti KPK. Karena sesungguhnya, korupsi adalah tabiat yang dilahirkan dari sistem tata kelola negara ini, yaitu demokrasi. Sistem yang melanggengkan politik transaksional. Sistem yang tak sama sekali melibatkan Allah Swt dalam setiap pengaturannya.

 

Sebaliknya, sistem politik Khilafah dengan seperangkat aturannya yang terbukti kuat dan stabil. Sebab dibuat oleh Sang Pencipta Kehidupan, tentu akan memberi solusi tuntas untuk menghentikan korupsi. Siapa lagi selain Allah yang mampu berlaku adil? Tentu lewat penerapan hukum-Nya secara kaaffah dalam lingkup kepemerintahanlah kesejahteraan seluruh umat adalah keniscayaan.

Berita Terkait

Berikan Komentar