Ciawi dalam Trilogi Malapetaka: Diamnya Pemerintah di Tengah Gemuruh Kemacetan, Prostitusi, dan Gempuran Miras

‎Mediabogor.co, BOGOR – Matahari baru saja mulai menyerah di ufuk barat, namun jalan raya Ciawi sudah menggigil, bukan karena angin malam, tapi oleh deru mesin yang tak sabar dan senandung klakson yang sumbang.

‎Di sini, di gerbang utama Bogor ini, waktu mengalami distorsi. Jarak lima kilometer bisa menjadi ziarah panjang berjam-jam. Ini adalah penderitaan bersama, sebuah ritual harian yang melumpuhkan Ribuan kendaraan mengular, bagai darah yang membeku di nadi transportasi kota.

‎Namun, di balik kemacetan yang kasat mata, tersembunyi dua ekosistem lain yang justru menemukan nafasnya. Bayangan di Balik Roda yang diam saat kendaraan berhenti, mata pun mengembara. Di warung-warung tenda seadanya, di kios-kios yang redup, transaksi diam terjadi. Botol-botol tak berlabel, berisi cairan jernih yang menjanjikan pelarian murah.

‎ Ini adalah penawar darurat bagi lelah yang tak tertahankan. Sopir, buruh pabrik, dan mereka yang kehilangan arah mencari pelarian seketika. Racun dalam gelas ini bukan lagi sekadar minuman, ia adalah gejala keputusasaan sebuah respons primitif terhadap beban hidup yang kian menggunung. Penyebarannya tak terkendali karena ia mengisi ruang kosong yang ditinggalkan oleh tiadanya ruang rekreasi yang sehat dan terjangkau.

‎Ketika malam benar-benar tiba, bayang-bayangan itu mulai bergerak. Di pinggir-pinggir jalan gelap, di balik spanduk besar, kehidupan lain bermula. Mereka, adalah korban sekaligus produk dari sebuah sistem yang gagal. Banyak dari mereka adalah korban putus sekolah, imigran urban yang tertipu janji kerja, atau ibu tunggal yang terdesak. Mereka adalah cermin retak dari kemiskinan dan ketimpangan.

‎Prostitusi di Ciawi bukanlah dosa individual, melainkan luka kolektif. Ia tumbuh subur di tanah yang dipupuk oleh kemacetan dan keterbatasan ekonomi.

‎Trilogi Kemalangan, Sebuah Siklus yang Saling Menguatkan
‎Ketiga isu ini bukanlah entitas yang berdiri sendiri. Mereka adalah trio maut yang terlibat dalam siklus simbiosis yang merusak.

‎Lalu, di manakah pemerintah dalam situasi chaos ini?

‎Pemerintah kerap hadir dengan solusi yang terfragmentasi. Razia prostitusi dadakan, sweeping minuman keras, atau wacana pelebaran jalan yang tak kunjung jelas. Ini ibarat membalut luka borok dengan plester. Mereka menangkap gejala, tetapi mengabaikan penyakitnya.

‎Akankah pemerintah bertindak? Pertanyaannya bukan lagi bisakah, tapi maukah mereka melihat akar masalahnya?

‎Tindakan yang dibutuhkan bukanlah yang reaktif, tetapi yang transformatif. Membangun transportasi massal yang terintegrasi seperti perbaiki sistem terminal gelap, bukan sekadar mengurai kemacetan, tapi memutus mata rantai pertama dari siklus ini. Membuka lapangan kerja yang layak dan memfasilitasi pelatihan keterampilan adalah cara memutus mata rantai kemiskinan yang menjadi ibu kandung prostitusi. Menyediakan ruang publik, pusat kreativitas pemuda, dan kegiatan olahraga murah adalah penangkal sehat bagi godaan minuman keras.

‎Ciawi tidak butuh janji. Ciawi lapar akan tindakan nyata. Ia haus akan kepemimpinan yang berani melihat kompleksitas masalah dan berani menawarkan solusi holistik. Suara klakson, bisik-bisik di kegelapan, dan denting botol minuman keras itu semua adalah teriakan minta tolong yang sama.

‎Sudahkah kita dan terutama mereka yang berkuasa mau benar-benar mendengarnya? Atau kita akan membiarkan situasi penderitaan ini terus mengalun, hingga Ciawi benar-benar habis dilalap oleh perubahan yang liar dan tak terkendali?

‎Penulis : Mochamad Daffa – Ketua GMNI Universitas Djuanda

Berita Terkait

Berikan Komentar