Cap Go Meh dan Ikhtiar Merawat Kemajemukan di Bumi Siliwangi

mediabogor.com, Bogor – ‘Di Nu KiwariNgancik Nu Bihari Seja Ayeuna Sampeureun Jaga’. Perihasa Sunda ini menjadi slogan kebanggaan warga Kota Bogor dalam menjaga ukhuwah dan tali persaudaraan antar sesama. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia maka artinya, peribahasa tersebut memiliki arti;‘Segala hal di masa kini adalah pusaka di masa silam, dan ikhtiar hari ini adalah untuk masa depan dan apa yang kita nikmati hari ini adalah warisan pendahulu, dan apa yang kita nikmati sekarang akan diwarisi untuk generasi berikutnya…’

Lewat peribahasa inilah masyarakat Sunda, khususnya Kota Bogor, merawat dan menjaga tali persahabatan dan kerukunan antar sesama. Sebagai kota pusaka dan kota budaya, Kota Bogor memang tak jarang mendapat ancaman, tantangan dan gangguan yang mengancam persatuan. Harus diakui, Kota Bogor belakangan memang menjadi sorotan terkait hasil penelitian sejumlah lembaga riset yang menempatkannya sebagai salah satu kota intoleran di Indonesia.

Cap Go Meh dan Ikhtiar Merawat Kemajemukan di Bumi Siliwangi

Riset Lembaga SETARA Institute pada 2015 menyatakan bahwa Kota Bogor sebagai salah saru kota yang paling intoleran di antara puluhan kota yang masuk ke dalam riset. (lihat grafis/ sumber https://beritagar.id/artikel/berita/kota-kota-berindeks-toleran-rendah-itu-menyanggah-hasil)

Kondisi ini tak lepas dari polemik bangunan Gereja Yasmin di Jalan Abdullah Bin Nuh, Yasmin, Kota Bogor yang terkatung-katung proses izinnya dalam 13 tahun terakhir. Meski demikian, harus diakui bahwa mentalitas warga Kota Bogor untuk melewati badai intoleransi ini telah teruji. Dengan keragaman yang ada, warga Kota Bogornyatanya berhasil menciptakan kerukunan dan persatuan di tengah kemajemukan yang ada sejauh ini. Hampir seluruh etnis, suku dan agama hidup berdampingan secara rukun di Kota Bogor.

Mari kita lihat Kota Bogor dari jarak dekat. Di sepanjang Jalan Suryakencana, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, berdiri megah kawasan Pecinan lengkap dengan gerbang masuk yang didesain khusus menyerupai bangunan khas Tionghoa. Di sepanjang jalan ini juga, setiap tahunnya dihelat Bogor Street Festival atau lebih sering dinamakan Cap Go Meh. Helatan rutin yang menyita mata di seluruh penjuru Dunia ini memang sudah menjadi tradisi dan kearifan lokal tersendiri bagi Kota Bogor. Cap Go Meh hadir di Bumi Siliwangi tak semata datang dengan sendirinya. Ini adalah tradisi yang telah dilaksanakan turun-temurun sebagai bentuk penghormatan atas eksistensi dan andil masyarakat Tionghoa dalam membangun Kota Bogor. Bogor Street Ferstival ini tak hanya menampilkan parade barongsai, khas etnis Thionghoa.

Beragam kuliner juga disuguhkan mulai dari “Ayam Panggang Santan” Om Indra yang sudah eksis sejak 1978 dan sampai sekarang masih ramai diserbu pelanggan. Kemudian ada Toge Goreng Pa Raisan yang sudah berjualan sejak 1980. Racikan toge ini mempertahankan rasa tradisional dari tauco dan menggunakan daun patat yang menjaga ke-Khas-an rasa. Kemudian, juga ada ketupat Sayur Pak Adka yang telah berjualan Sejak 1984 dan bertahan hingga sekarang. Ciri dari ketupat sayur ini memang kuah yg sedikit manis dan lebih encer tapi citarasanya tebal di mulut.

Pada sejarahnya, Cap Go Meh adalah hasil dari akulturasi kebudayaan. Akulturasi Budaya Nusantara yang damai dan harmonis senantiasa melahirkan kearifan lokal yang mumpuni dan unik. Akulturasi Budaya Tionghoa dengan masyarakat Nusantara salah satunya terekam dan termanifestasikan dalam sebuah pesta seni budaya yang dikemas meriah sebagai salah satu bentuk Pesta Rakyat Kota Bogor.

Dalam literasiThionghoa, Cap Go Meh biasa disebut Yuan Xiaojie, Yuanxi, Yuanye atau ShangYuanjie, merupakan puncak acara perayaan Tahun Baru Tionghoa (Tahun Baru Imlek), dimana tradisi perayaan Tahun Baru Imlek biasanya disertai upacara syukuran terhadap berkah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa pada tahun sebelumnya. Secara etimologis Cap Go dari dialek Hokkian yang bermakna ‘lima belas’, Meh berati ‘malam’. Perayaan ini jatuh pada setiap tanggal 15 bulan pertama dalam Tahun Baru Imlek.

Perayaan Cap Go Meh ini memang dikemas egaliter karena dilakukan di ruang publik sebagai bentuk ungkapan syukur terhadap berkah yang diterima. Sesuai kepercayaan, bahwa dewa pembawa berkah adalah Dewa HokTek atau HokTek Tjeng Sin, oleh karena itu biasanya dalam acara Cap Go Meh, sebentuk rupang/patung perwujudan Dewa HokTek diarak dengan tandu berkeliling kota untuk menebar berkah kepada semua anggota masyarakat.

Menurut tradisi Tionghoa, seusai aktifitas Cap Go Meh, maka berakhirlah seluruh perayaan Tahun Baru Imlek pada tahun tersebut. Tradisi Cap Go Meh ini mempunyai kemiripan dengan tradisi Satu Suro di Jawa Tengah atau lebih dikenal dengan Grebeg Suro, dimana berbagai macam pusaka Keraton Surakarta Hadiningrat di Solo dibawa berkeliling Keraton untuk menebar berkah kepada rakyat.

Pada perkembangannya, perayaan Cap Go Meh di Kota Bogor tak hanya memamerkan pawai tokoh dan pejabat publik. Ulama dan tokoh-tokoh masyarakat Sunda juga menghiasi pawai yang berlangsung selama 2 hingga 3 jam di sepanjang jalur utama Surya Kencana.

Melalui Cap Go Meh inilah, seluruh elemen masyarakat di Kota Bogor berkumpul dan bersukacita menjaga tali persaudaraan dan kebersamaan di tengah keberagaman. Semangat budaya sebagai pemersatu bangsa inilah yang selalu dijadikan pijakan keberhasilan pelaksanaan Cap Go Meh setiap tahunnya. Semangat toleransi dan pluralisme ini yang kemudian mencuri perhatian Dunia Internasional. Terbukti, jika setiap helaran Cap Go Meh, bule-bule dari berbagai negara tak segan ikut berdesak-desakan dengan masyarakat lokal di Kota Bogor untuk menyaksikan jalannya acara.(*)

 

 

Penulis :Yuska Apitya AjiIswanto

Pegiat Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Pamulang (Unpam) Tangerang Selatan.

Berita Terkait

Berikan Komentar