PRESIDENSIAL DIKTATOR

PRESIDENSIAL DIKTATOR

mediabogor.com, Sistem pemerintahan presidensial adalah sistem pemerintahan dimana badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah.

Undang-Undang Dasar 1945 memberi kekuasaan yang besar kepada Presiden. Hal ini bisa dilihat dalam pasal 5 ayat (1) jo pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Kedua pasal ini memberikan makna bahwa Presiden memegang kekuasaan legislative, dan DPR dinilai hanya menjadi “tukang stampel”. Kekuasaan Presiden yang besar ini rupanya disadari oleh penguasa pada masa orde lama dan orde baru yang kemudian memanfaatkan untuk menjadikan kekuasaan tersentralistik pada presiden, tanpa adanya mekanisme check and balances.

Pemerintah cenderung menerbitkan banyak produk hukum Undang-Undang (terutama Keppres dan Perppu) yang dalam implementasinya memberikan banyak delegasi kepada Pemerintah atau presiden untuk kemudian mengatur dan membuat aturan delegasi dari Undang-Undang yang sesuai kehendak Pemerintah. Merupakan karakteristik pemerintahan Presidensial Diktator.

Misalnya pada masa orde baru terdapat 1295 Keppres yang terdiri 380 Keppres yang bersifat penetapan dan 925 Keppres yang bersifat peraturan. Mengutip tulisan Dr.Fitra Arsil bahwa di Negara Brazil muncul Perppu dalam jumlah banyak yang kemudian lebih berfungsi untuk menggantikan Undang-Undang guna menggerakan roda Pemerintahan adalah kateristik pemerintah Presidensial Diktator.

Dalam kurun waktu 5 Oktober 1988 hingga bulan Mei tahun 1995, tercatat empat Presiden Brazil telah mengeluarkan 1004 Perppu. Bahkan menariknya, Presiden Brazil mengeluarkan kembali berkali-kali Perppu yang telah ditolak parlemen. Dapat disebutkan data bahwa Presiden Sarney mengeluarkan 147 Perppu, De Mello 160 Perppu, Franco 505 Perppu dan Presiden Cardoso mengeluarkan 192 Perppu (Mainwaring, 1997).

Senada dengan Pemerintah sekarang, dinilai oleh rakyat sebagai Pemerintah diktator semenjak menerbitkan Perppu 2/2017 tentang organisasi kemasyarakatan. Karena Perppu 2/2017 telah memindahkan kewenangan Yudikatif ke tangan ekskutif. Maka dalam hal ini Perppu telah menyalahi dan melanggar prinsip negara hukum.

Pemerintah telah menghilangkan bagian penting dari Negara hukum yaitu pemerintah secara sepihak mencabut status badan hukum ormas tanpa didahului proses pemeriksaan di pengadilan. Padahal, proses itu penting untuk menjamin prinsip due process of law yang memberikan ruang kepada ormas untuk membela diri dan memberikan kesempatan bagi hakim untuk mendengar argumentasi para pihak berperkara secara adil. Mekanisme ini juga mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pemerintah dalam membubarkan ormas.

Lord Acton menyatakan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang.

Bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan tidak dapat dibiarkan membuat interprestasi sendiri untuk menghindari absolutisme kekuasaan.

Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain.

Demikian tulisan singkat ini saya publikasikan, bagian dari upaya menjaga Negara terjerumus pada Negara kekuasaan (Machstaat)

Wallahualambishawab

Chandra Purna Irawan.MH.
Ketua Eksekutif Nasional Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI)

Berita Terkait

Berikan Komentar